Lights Personal Life of
Rahmah El-Yunusiyah
Syaikhah dari Negeri Padang Panjang
Pulau Sumatra, terkhusus Sumatra Barat, masyhur sebagai tanah kelahiran para ulama dan kyai. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa tokoh terkemuka yang lahir dari tanah tersebut, seperti Agus Salim, Buya Hamka, Mohammad Natsir, Bustami Abdul Gani.
Dari sederet nama ulama laki-laki, ada satu nama perempuan yang menarik hati, dialah rahmah El-Yunusiyah.
Dialah tokoh pendidikan dan perjuangan Islam wanita dari Sumatra Barat. Beliau lahir, tepatnya di Padang Panjang pada tanggal 29 Desember 1900 dan wafat pada 26 Februari 1969. Pendiri Madrasah Diniyah Putri Padang Panjang (Sumatra Barat) yang merupakan perguruan tinggi wanita Islam pertama di Indonesia, dan pelopor berdirinya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Sumatra Barat.
Sejenak masa belajarnya dengan sang ayah, lalu dia belajar dalam bimbingan kakaknya, yaitu Zainuddin Labay El-Yunusy yang merupakan pendiri Diniyat School di Sumatra Barat dan M. Rasyad. Haji Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka) pun merupakan gurunya.
Dalam Jurnal Kependidikan Islam Vol 2 tahun 2004, Hamruni (dosen Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga), menerangkan pemikiran Rahmah tentang perempuan. Dalam tulisan berjudul “”Pendidikan Perempuan dalam Pemikiran Rahmah El Yunusiyah””, Hamruni mengatakan bahwa Rahmah menilai perempuan punya peran penting dalam kehidupan.
Bagi Rahmah, perempuan adalah pendidik anak yang akan mengendalikan jalur kehidupan mereka selanjutnya. Maka perlu ada upaya untuk meningkatkan kemampuan kaum perempuan, baik di bidang intelektual maupun kepribadian.
Kala itu, mendirikan dan mempertahankan sebuah sekolah bukan perkara mudah. Terlebih ketika kota Padang Panjang dihantam gempa pada 28 Juni 1926, dan kematian abangnya dua tahun sebelumnya.
Ia ke sana kemari mencari uang untuk membangun lagi sekolahnya, sebab gempa telah meruntuhkan gedung-gedung asrama. Menurut catatan Hamka, Rahmah sampai berangkat ke Malaysia menemui sultan-sultan Melayu untuk meminta bantuan.
Hamka juga menuliskan tentang betapa Rahmah tampak tak punya tujuan hidup lain selain membesarkan Sekolah Diniyyah.
“Setelah bercerai dengan suaminya yang dibuang ke Digul, dia tidak bersuami lagi. Suaminya atau anaknya adalah sekolahnya itu,” tulis Hamka.
Pada 1928, Diniyah Putri memiliki 200 murid, lalu bertambah menjadi dua kali lipat pada 1935.
Tahun 1955, para petinggi Universitas Al-Azhar, Mesir, datang ke Padang dan berkunjung ke Sekolah Diniyyah Putri milik Rahmah. Pengakuan yang mengagumkan ketika para petinggi universitas menyatakan bahwa Al-Azhar dan Mesir pada umumnya masih tertinggal jauh dari sekolah yang digagas oleh Rahmah.
Dua tahun kemudian, Rahmah diundang ke Mesir. Ia mendapat gelar kehormatan “Syehkhah” dan menjadi perempuan pertama yang mendapatkan gelar itu dari Al-Azhar. Kedatangan Rahmah dan cerita soal Sekolah Diniyyah menginspirasi Al-Azhar untuk membuka Kulliyatul Lil Banat—fakultas khusus untuk perempuan yang direalisasikan pada 1962.
“Guru itu harus tahu bahwa murid-muridnya membutuhkan yang baik dan banyak. Oleh sebab itu, ia sendiri lebih dahulu mempersiapkan diri dengan lebih baik dan lebih banyak.”
“Guru itu harus sanggup mencarikan gaya dan variasi dalam menerangkan pelajaran pada muridnya sehingga pelajaran itu menjadi hidup dalam pikiran jiwa murid-murid tersebut.”
“Lakukanlah tugas mendidik itu dengan gembira dan penuh kesabaran serta dengan penuh kesadaran bahwa Anda adalah dalam melaksanakan tugas suci yang dituntut oleh agama dan bangsa kita.”
-Rahmah El-Yunusiyah
“Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Alquran dan mengajarkannya.” (HR Bukhari).
Rahmah El-Yunusiah, sosok yang berjuang berdasarkan ide-ide yang ia yakini yang bersumber dari ajaran Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Belajar dan mengerjakan Al-Qur’an bukan soal gender, namun tentang tekad. Karena kita semua adalah seorang guru yang siap untuk terus belajar dan mengajarkan isi Al-Qur’an. Selamat hari guru #LightSeekers!
Link Instagram:
https://www.instagram.com/p/CIBA5AuMRcA/