Lights Personal Life of Malcolm X
Cahaya dari Tanah Suci untuk Rasisme
Lahir di Kota Omaha, Amerika, 19 Mei 1925, Malcolm X hidup di tengah rasisme kelompok kulit putih dan kulit hitam. Pada masa itu, masih berlaku politik diskriminasi antar ras (segregasi) di Amerika. Misalnya, warga kulit hitam tidak boleh naik bus bersama orang kulit putih, minum dari keran sama, atau makan di restoran sama. Akhirnya, Malcolm tumbuh dengan kebenciannya kepada orang berkulit putih. Selain tertanam kebencian kepada orang berkulit putih, dia pun tumbuh dengan seringnya melakukan aksi perampokan, hingga ia harus masuk penjara.
Namun, di dalam penjara lah ternyata Malcolm mulai mengenal Islam. Dia berkenalan dengan Nation of Islam (NOI), sebuah kelompok radikal kulit hitam muslim. Dia tertarik pada ajaran NOI lantaran mengajarkan perlawanan pada kulit putih dan jalan hidup lurus sesuai ajaran Islam. Ajaran itu bagaikan angin segar baginya yang selama ini terkurung dalam rasisme.
Menjalani ajaran Islam selama beberapa tahun, pada 1964, akhirnya Malcolm X berangkat haji. Di sana, Malcolm mendalami Islam lebih dalam dan mengganti namanya menjadi Al Hajj Malik El-Shabazz. Keagungan ibadah haji memberikan pesona tersendiri bagi Malcolm X.
Di tanah suci, dia melihat kaum Muslim dari penjuru dunia, termasuk orang Eropa yang berkulit putih, berambut pirang dan bermata biru. Di sana semua harus memakai pakaian ihram untuk menunaikan ibadah haji. “Pada saat itu, kedudukan semua orang sama. Apakah ia seorang pangeran, raja atau petani, orang tidak menghiraukannya. Kami semua berpakaian ihram dan berseru Labbaika! Labbaika!”
Malcolm X berkata, “Mereka bertanya apa kesan yang paling mendalam bagi saya dari ibadah haji. Saya katakan: kebersamaan! Orang-orang dari segala ras, warna kulit, asal negara di dunia semua datang bersama-sama sebagai satu (umat)!”
Dari hal tersebut muncul kesadaran yang teguh, bahwa Allah ﷻ menciptakan perbedaan rasial atau kebangsaan semata-mata agar manusia saling mengenal. Sebagai orang yang pernah hidup di tengah rasisme, dari ibadah haji pula ia menemukan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang menghapus segala masalah rasial dari semua masyarakat.
Hal ini jelas sangat berkebalikan dengan ajaran yang sebelumnya didapatkan dari NOI bahwa orang kulit putih adalah devil (setan), dan mereka harus dilawan. Malcolm X akhirnya menyadari, selama di NOI cara beragamanya ternyata keliru. Dia mengira Islam hanya alat untuk kemerdekaan kulit hitam. Ia akhirnya memutuskan keluar dengan alasan organisasi radikal ini lebih mementingkan persoalan ras daripada syiar agama Islam.
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”
(QS. Al-Hujurat ayat 13)
Malcolm X wafat pada 21 Februari 1965 di usianya yang ke-39 tahun. Hingga akhir hayatnya, ia belum sempat melihat kesetaraan antara kulit hitam dan kulit putih terwujud di Amerika. Namun, darinya kita belajar tentang perjuangan melawan rasisme. Islam tak pernah memandang manusia dari warna kulit, status ekonomi, suku, atau hal-hal lainnya yang bersifat duniawi. Sebab kita menyadari bahwa Allah ﷻ menciptakan manusia dengan derajat yang sama, hingga yang membedakan adalah ketakwaannya.
Link Instagram:
https://www.instagram.com/p/CJYrm05swqw/